Sudah beberapa bulan ini, aku
berhenti mengejar dia, berhenti memikirkan dia, berhenti melihat dia, berhenti
mengingat dia, berhenti melakukan apapun yang ada kaitannya dengan dia. Mungkin
belum bisa sepenuhnya dikatakan berhenti, kata yang lebih tepat mungkin
lagi-lagi masih dalam tahap ‘mencoba berhenti’. Tetapi setidaknya, aku sudah
mencobanya. Aku berusaha keras melakukan itu semua.
Aku ingat alasan mengapa aku
melakukan semua kegiatan berhenti itu. Itu semua karena dia juga sudah berhenti
dari awal. Aku sempat merasa bodoh karena masih terus bertahan saat itu,
padahal aku juga sudah tahu jelas bahwa bertahan pun juga mungkin tak akan
berarti apa-apa. Aku juga merasa bodoh karena sempat mempercayai dia dua kali,
dan dua kali pula aku dikecewakan. Entah apa alasannya dia meninggalkanku demi
perempuan itu, aku juga tidak tahu. Mungkin karena perempuan itu lebih cantik
dariku atau mungkin karena perempuan itu sudah mampu membuat dia tiba-tiba
merasa jenuh denganku. Aku ingat, waktu itu aku hanya bisa menangis di pojok
kamarku sambil memeluk erat boneka teddy bear ungu yang diberikannya padaku.
Dan dirinya masih bisa bersikap seakan dia tak bersalah ketika aku sudah tahu
bagaimana kenyataannya.
“Kamu kenapa? Matamu bengkak,”
ucapnya kala itu sambil memandang lurus ke mataku. Raut kekhawatiran terlihat
jelas di wajahnya. Entah ia benar-benar khawatir atau benar-benar pandai
berakting seolah-olah ia khawatir. Aku masih ingat juga, dia menggenggam
tanganku saat itu, hal yang biasa dilakukannya saat aku menangis padanya karena
berbagai masalah. Dia masih saja berpura-pura baik padaku seakan aku tak tahu
kebenarannya.
Aku menangis lagi. Aku benar-benar
tak bisa menahan buliran air mataku untuk tidak jatuh saat itu. “Aku tahu
semuanya,” kataku disela tangisanku yang berhasil membuat genggaman tangannya
di punggung tanganku melonggar. Tetapi, entah kenapa, ia tak melepaskan
genggaman tangannya itu, hanya melonggarkannya sedikit.
Aku dan dia sama-sama terdiam
beberapa saat, tak ada sepatah kata pun, tak ada satu gerakan pun. Aku masih
menangis kecil dan dia masih menggenggam tanganku, meski kini genggamannya itu
serasa akan terlepas. “Maaf,” dan satu kata itulah yang menjadi pengiring
terlepasnya genggaman tangan itu. Dia menghela napasnya dalam-dalam, menatapku,
mengusap air mataku yang masih saja mengalir pelan, dan akhirnya berpaling
memunggungiku lalu beranjak pergi menjauh.
Berakhir sudah. Semuanya telah
berakhir. Aku merasakan dadaku sangat sesak, bernapas entah mengapa menjadi
sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Dia sama sekali tidak berhak mengakhiri
ini semua. Akulah satu-satunya pihak yang berhak mengakhiri ini semua. Aku yang
dikecewakan. Aku yang disakiti. Dan aku pula yang ditinggalkan. Berani sekali
dia melakukan hal sekeji ini padaku. Bukankah dia seharusnya menjagaku sebaik
mungkin? Bukankah dia seharusnya tidak boleh melepasku segampang ini?
Setelah itu, aku benar-benar mencoba
berhenti. Aku menghilangkan dia dari hidupku. Aku menerapkan teori bahwa aku
tak pernah mengenal dia di otakku. Sama sekali tak pernah kenal dan tak ingin kenal.
Terkadang, jika sedang sial aku akan berpapasan dengannya di koridor sekolah.
Dan langkah pertama yang aku lakukan adalah membuang muka, sama sekali tak
berniat melihat wajahnya. Aku bersyukur karena aku tidak harus terlalu sering
bertemu dengannya. Aku tidak ingin melihat wajahnya atau bahkan mendengar
namanya disebutkan. Entah mengapa, dengan mendengar namanya saja, aku sudah
bisa merasakan ada sesuatu yang memenuhi rongga dadaku dan membuatku sesak
bernapas. Dan hal ini masih saja berlangsung hingga beberapa bulan. Tak saling
menatap. Tak saling menyapa. Tak saling bicara. Tak saling bertemu. Hal ini
masih saja berlangsung hingga pesta perpisahan diantara murid-murid angkatan
kami yang telah lulus sekolah.
Aku mengenakan gaun putih selutut
yang manis saat itu. Rambut hitam panjangku kubiarkan tergerai dan wajahku
kuhias dengan sedikit polesan make-up natural. Aku lebih memilih untuk duduk
menyendiri, menjauh dari kerumunan anak remaja seusiaku yang tengah sibuk
dengan pesta dan teman mereka masing-masing. Ironis memang, Karena hanya aku
yang datang seorang diri ke pesta perpisahan ini. Aku tak pandai berteman, aku
tak pandai menyesuaikan diri, jadi datang seorang diri ke pesta bukan lagi hal
yang baru bagiku. Tentu, menyendiri akan menjadi pelarian yang menyenangkan.
Aku akui, aku sama sekali tidak tertarik dengan pesta ini, aku hanya ingin
melihat dia untuk terakhir kalinya karena bukan tidak mungkin jika aku tidak
akan bertemu dengannya lagi setelah ini. Tidak ada niat untuk saling menyapa,
saling berbicara, atau bahkan baikan. Aku hanya ingin melihatnya sekali lagi
untuk yang terakhir kali, itu sudah cukup. Namun setelah sekian lama aku
mencarinya, ia masih tetap saja tak terlihat.
“Nana,” itu suaranya. Dia memanggilku.
Dia menyebut namaku. Suaranya terdengar ringan seakan memanggil teman lama yang
sudah lama tak bertemu.
Aku menoleh, mencoba mencari-cari
darimana suara itu berasal. Dia dibelakangku, tepat dibelakangku. Tanpa sadar
aku tersenyum kecil, aku tak bisa menentukan apakah senyum itu muncul karena
aku berhasil melihatnya lagi atau karena dia menyebut namaku. Aku akui, aku
merindukannya setelah sekian lama. Tetapi, aku tetap saja diam tak bersuara.
Aku berusaha menunggu dia memanggil namaku lagi, aku hanya ingin sekedar memastikan
apa aku sedang berkhayal atau tidak sekarang.
Dia terpaku, mungkin karena aku
juga yang masih saja diam. “Nana,” dia menyebut namaku lagi setelah beberapa
saat.
Masa bodoh, aku melangkah
mendekatinya. “Aku senang melihatmu disini,” ucapku dengan suara yang bergetar
karena tangis. Harus kuakui, aku membencinya tetapi aku juga senang melihatnya
waktu itu. Aku bahkan tersenyum dalam tangisku dan lagi-lagi aku tak tahu
mengapa.
Dia memasang senyum di wajahnya,
senyum yang sering ku lihat. “Aku juga.”
Aku menangis lagi. Aku memaafkannya
tetapi tidak untuk berbaikan. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menyimpan
rasa benci ini padanya. Aku tersenyum padanya sekali lagi dan beranjak pergi,
memunggunginya dan berlalu seperti saat ia meninggalkanku dulu. Aku bahagia
karena telah diberi kesempatan untuk mengenalnya selama ini, selamat tinggal….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar