Jumat, 21 Februari 2014

Cerpen Sedih Remaja : Berhenti



Sudah beberapa bulan ini, aku berhenti mengejar dia, berhenti memikirkan dia, berhenti melihat dia, berhenti mengingat dia, berhenti melakukan apapun yang ada kaitannya dengan dia. Mungkin belum bisa sepenuhnya dikatakan berhenti, kata yang lebih tepat mungkin lagi-lagi masih dalam tahap ‘mencoba berhenti’. Tetapi setidaknya, aku sudah mencobanya. Aku berusaha keras melakukan itu semua.
Aku ingat alasan mengapa aku melakukan semua kegiatan berhenti itu. Itu semua karena dia juga sudah berhenti dari awal. Aku sempat merasa bodoh karena masih terus bertahan saat itu, padahal aku juga sudah tahu jelas bahwa bertahan pun juga mungkin tak akan berarti apa-apa. Aku juga merasa bodoh karena sempat mempercayai dia dua kali, dan dua kali pula aku dikecewakan. Entah apa alasannya dia meninggalkanku demi perempuan itu, aku juga tidak tahu. Mungkin karena perempuan itu lebih cantik dariku atau mungkin karena perempuan itu sudah mampu membuat dia tiba-tiba merasa jenuh denganku. Aku ingat, waktu itu aku hanya bisa menangis di pojok kamarku sambil memeluk erat boneka teddy bear ungu yang diberikannya padaku. Dan dirinya masih bisa bersikap seakan dia tak bersalah ketika aku sudah tahu bagaimana kenyataannya.
“Kamu kenapa? Matamu bengkak,” ucapnya kala itu sambil memandang lurus ke mataku. Raut kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Entah ia benar-benar khawatir atau benar-benar pandai berakting seolah-olah ia khawatir. Aku masih ingat juga, dia menggenggam tanganku saat itu, hal yang biasa dilakukannya saat aku menangis padanya karena berbagai masalah. Dia masih saja berpura-pura baik padaku seakan aku tak tahu kebenarannya.
Aku menangis lagi. Aku benar-benar tak bisa menahan buliran air mataku untuk tidak jatuh saat itu. “Aku tahu semuanya,” kataku disela tangisanku yang berhasil membuat genggaman tangannya di punggung tanganku melonggar. Tetapi, entah kenapa, ia tak melepaskan genggaman tangannya itu, hanya melonggarkannya sedikit.
Aku dan dia sama-sama terdiam beberapa saat, tak ada sepatah kata pun, tak ada satu gerakan pun. Aku masih menangis kecil dan dia masih menggenggam tanganku, meski kini genggamannya itu serasa akan terlepas. “Maaf,” dan satu kata itulah yang menjadi pengiring terlepasnya genggaman tangan itu. Dia menghela napasnya dalam-dalam, menatapku, mengusap air mataku yang masih saja mengalir pelan, dan akhirnya berpaling memunggungiku lalu beranjak pergi menjauh.
Berakhir sudah. Semuanya telah berakhir. Aku merasakan dadaku sangat sesak, bernapas entah mengapa menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Dia sama sekali tidak berhak mengakhiri ini semua. Akulah satu-satunya pihak yang berhak mengakhiri ini semua. Aku yang dikecewakan. Aku yang disakiti. Dan aku pula yang ditinggalkan. Berani sekali dia melakukan hal sekeji ini padaku. Bukankah dia seharusnya menjagaku sebaik mungkin? Bukankah dia seharusnya tidak boleh melepasku segampang ini?
Setelah itu, aku benar-benar mencoba berhenti. Aku menghilangkan dia dari hidupku. Aku menerapkan teori bahwa aku tak pernah mengenal dia di otakku. Sama sekali tak pernah kenal dan tak ingin kenal. Terkadang, jika sedang sial aku akan berpapasan dengannya di koridor sekolah. Dan langkah pertama yang aku lakukan adalah membuang muka, sama sekali tak berniat melihat wajahnya. Aku bersyukur karena aku tidak harus terlalu sering bertemu dengannya. Aku tidak ingin melihat wajahnya atau bahkan mendengar namanya disebutkan. Entah mengapa, dengan mendengar namanya saja, aku sudah bisa merasakan ada sesuatu yang memenuhi rongga dadaku dan membuatku sesak bernapas. Dan hal ini masih saja berlangsung hingga beberapa bulan. Tak saling menatap. Tak saling menyapa. Tak saling bicara. Tak saling bertemu. Hal ini masih saja berlangsung hingga pesta perpisahan diantara murid-murid angkatan kami yang telah lulus sekolah.
Aku mengenakan gaun putih selutut yang manis saat itu. Rambut hitam panjangku kubiarkan tergerai dan wajahku kuhias dengan sedikit polesan make-up natural. Aku lebih memilih untuk duduk menyendiri, menjauh dari kerumunan anak remaja seusiaku yang tengah sibuk dengan pesta dan teman mereka masing-masing. Ironis memang, Karena hanya aku yang datang seorang diri ke pesta perpisahan ini. Aku tak pandai berteman, aku tak pandai menyesuaikan diri, jadi datang seorang diri ke pesta bukan lagi hal yang baru bagiku. Tentu, menyendiri akan menjadi pelarian yang menyenangkan. Aku akui, aku sama sekali tidak tertarik dengan pesta ini, aku hanya ingin melihat dia untuk terakhir kalinya karena bukan tidak mungkin jika aku tidak akan bertemu dengannya lagi setelah ini. Tidak ada niat untuk saling menyapa, saling berbicara, atau bahkan baikan. Aku hanya ingin melihatnya sekali lagi untuk yang terakhir kali, itu sudah cukup. Namun setelah sekian lama aku mencarinya, ia masih tetap saja tak terlihat.
“Nana,” itu suaranya. Dia memanggilku. Dia menyebut namaku. Suaranya terdengar ringan seakan memanggil teman lama yang sudah lama tak bertemu.
Aku menoleh, mencoba mencari-cari darimana suara itu berasal. Dia dibelakangku, tepat dibelakangku. Tanpa sadar aku tersenyum kecil, aku tak bisa menentukan apakah senyum itu muncul karena aku berhasil melihatnya lagi atau karena dia menyebut namaku. Aku akui, aku merindukannya setelah sekian lama. Tetapi, aku tetap saja diam tak bersuara. Aku berusaha menunggu dia memanggil namaku lagi, aku hanya ingin sekedar memastikan apa aku sedang berkhayal atau tidak sekarang.
Dia terpaku, mungkin karena aku juga yang masih saja diam. “Nana,” dia menyebut namaku lagi setelah beberapa saat.
Masa bodoh, aku melangkah mendekatinya. “Aku senang melihatmu disini,” ucapku dengan suara yang bergetar karena tangis. Harus kuakui, aku membencinya tetapi aku juga senang melihatnya waktu itu. Aku bahkan tersenyum dalam tangisku dan lagi-lagi aku tak tahu mengapa.
Dia memasang senyum di wajahnya, senyum yang sering ku lihat. “Aku juga.”
Aku menangis lagi. Aku memaafkannya tetapi tidak untuk berbaikan. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menyimpan rasa benci ini padanya. Aku tersenyum padanya sekali lagi dan beranjak pergi, memunggunginya dan berlalu seperti saat ia meninggalkanku dulu. Aku bahagia karena telah diberi kesempatan untuk mengenalnya selama ini, selamat tinggal….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 21 Februari 2014

Cerpen Sedih Remaja : Berhenti



Sudah beberapa bulan ini, aku berhenti mengejar dia, berhenti memikirkan dia, berhenti melihat dia, berhenti mengingat dia, berhenti melakukan apapun yang ada kaitannya dengan dia. Mungkin belum bisa sepenuhnya dikatakan berhenti, kata yang lebih tepat mungkin lagi-lagi masih dalam tahap ‘mencoba berhenti’. Tetapi setidaknya, aku sudah mencobanya. Aku berusaha keras melakukan itu semua.
Aku ingat alasan mengapa aku melakukan semua kegiatan berhenti itu. Itu semua karena dia juga sudah berhenti dari awal. Aku sempat merasa bodoh karena masih terus bertahan saat itu, padahal aku juga sudah tahu jelas bahwa bertahan pun juga mungkin tak akan berarti apa-apa. Aku juga merasa bodoh karena sempat mempercayai dia dua kali, dan dua kali pula aku dikecewakan. Entah apa alasannya dia meninggalkanku demi perempuan itu, aku juga tidak tahu. Mungkin karena perempuan itu lebih cantik dariku atau mungkin karena perempuan itu sudah mampu membuat dia tiba-tiba merasa jenuh denganku. Aku ingat, waktu itu aku hanya bisa menangis di pojok kamarku sambil memeluk erat boneka teddy bear ungu yang diberikannya padaku. Dan dirinya masih bisa bersikap seakan dia tak bersalah ketika aku sudah tahu bagaimana kenyataannya.
“Kamu kenapa? Matamu bengkak,” ucapnya kala itu sambil memandang lurus ke mataku. Raut kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Entah ia benar-benar khawatir atau benar-benar pandai berakting seolah-olah ia khawatir. Aku masih ingat juga, dia menggenggam tanganku saat itu, hal yang biasa dilakukannya saat aku menangis padanya karena berbagai masalah. Dia masih saja berpura-pura baik padaku seakan aku tak tahu kebenarannya.
Aku menangis lagi. Aku benar-benar tak bisa menahan buliran air mataku untuk tidak jatuh saat itu. “Aku tahu semuanya,” kataku disela tangisanku yang berhasil membuat genggaman tangannya di punggung tanganku melonggar. Tetapi, entah kenapa, ia tak melepaskan genggaman tangannya itu, hanya melonggarkannya sedikit.
Aku dan dia sama-sama terdiam beberapa saat, tak ada sepatah kata pun, tak ada satu gerakan pun. Aku masih menangis kecil dan dia masih menggenggam tanganku, meski kini genggamannya itu serasa akan terlepas. “Maaf,” dan satu kata itulah yang menjadi pengiring terlepasnya genggaman tangan itu. Dia menghela napasnya dalam-dalam, menatapku, mengusap air mataku yang masih saja mengalir pelan, dan akhirnya berpaling memunggungiku lalu beranjak pergi menjauh.
Berakhir sudah. Semuanya telah berakhir. Aku merasakan dadaku sangat sesak, bernapas entah mengapa menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Dia sama sekali tidak berhak mengakhiri ini semua. Akulah satu-satunya pihak yang berhak mengakhiri ini semua. Aku yang dikecewakan. Aku yang disakiti. Dan aku pula yang ditinggalkan. Berani sekali dia melakukan hal sekeji ini padaku. Bukankah dia seharusnya menjagaku sebaik mungkin? Bukankah dia seharusnya tidak boleh melepasku segampang ini?
Setelah itu, aku benar-benar mencoba berhenti. Aku menghilangkan dia dari hidupku. Aku menerapkan teori bahwa aku tak pernah mengenal dia di otakku. Sama sekali tak pernah kenal dan tak ingin kenal. Terkadang, jika sedang sial aku akan berpapasan dengannya di koridor sekolah. Dan langkah pertama yang aku lakukan adalah membuang muka, sama sekali tak berniat melihat wajahnya. Aku bersyukur karena aku tidak harus terlalu sering bertemu dengannya. Aku tidak ingin melihat wajahnya atau bahkan mendengar namanya disebutkan. Entah mengapa, dengan mendengar namanya saja, aku sudah bisa merasakan ada sesuatu yang memenuhi rongga dadaku dan membuatku sesak bernapas. Dan hal ini masih saja berlangsung hingga beberapa bulan. Tak saling menatap. Tak saling menyapa. Tak saling bicara. Tak saling bertemu. Hal ini masih saja berlangsung hingga pesta perpisahan diantara murid-murid angkatan kami yang telah lulus sekolah.
Aku mengenakan gaun putih selutut yang manis saat itu. Rambut hitam panjangku kubiarkan tergerai dan wajahku kuhias dengan sedikit polesan make-up natural. Aku lebih memilih untuk duduk menyendiri, menjauh dari kerumunan anak remaja seusiaku yang tengah sibuk dengan pesta dan teman mereka masing-masing. Ironis memang, Karena hanya aku yang datang seorang diri ke pesta perpisahan ini. Aku tak pandai berteman, aku tak pandai menyesuaikan diri, jadi datang seorang diri ke pesta bukan lagi hal yang baru bagiku. Tentu, menyendiri akan menjadi pelarian yang menyenangkan. Aku akui, aku sama sekali tidak tertarik dengan pesta ini, aku hanya ingin melihat dia untuk terakhir kalinya karena bukan tidak mungkin jika aku tidak akan bertemu dengannya lagi setelah ini. Tidak ada niat untuk saling menyapa, saling berbicara, atau bahkan baikan. Aku hanya ingin melihatnya sekali lagi untuk yang terakhir kali, itu sudah cukup. Namun setelah sekian lama aku mencarinya, ia masih tetap saja tak terlihat.
“Nana,” itu suaranya. Dia memanggilku. Dia menyebut namaku. Suaranya terdengar ringan seakan memanggil teman lama yang sudah lama tak bertemu.
Aku menoleh, mencoba mencari-cari darimana suara itu berasal. Dia dibelakangku, tepat dibelakangku. Tanpa sadar aku tersenyum kecil, aku tak bisa menentukan apakah senyum itu muncul karena aku berhasil melihatnya lagi atau karena dia menyebut namaku. Aku akui, aku merindukannya setelah sekian lama. Tetapi, aku tetap saja diam tak bersuara. Aku berusaha menunggu dia memanggil namaku lagi, aku hanya ingin sekedar memastikan apa aku sedang berkhayal atau tidak sekarang.
Dia terpaku, mungkin karena aku juga yang masih saja diam. “Nana,” dia menyebut namaku lagi setelah beberapa saat.
Masa bodoh, aku melangkah mendekatinya. “Aku senang melihatmu disini,” ucapku dengan suara yang bergetar karena tangis. Harus kuakui, aku membencinya tetapi aku juga senang melihatnya waktu itu. Aku bahkan tersenyum dalam tangisku dan lagi-lagi aku tak tahu mengapa.
Dia memasang senyum di wajahnya, senyum yang sering ku lihat. “Aku juga.”
Aku menangis lagi. Aku memaafkannya tetapi tidak untuk berbaikan. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan menyimpan rasa benci ini padanya. Aku tersenyum padanya sekali lagi dan beranjak pergi, memunggunginya dan berlalu seperti saat ia meninggalkanku dulu. Aku bahagia karena telah diberi kesempatan untuk mengenalnya selama ini, selamat tinggal….

0 komentar:

Posting Komentar